Manajemen Laba Dan Nilai-nilai Etika Islam

$rows[judul]



Keterangan Gambar : Anindya Dianing Pratiwi, Mahasiswa S2 Akuntansi Universitas Jember.

Viralindonesia.co.id - Dalam bisnis, seseorang memiliki ekspektasi yang tinggi atas perolehan tingkat keuntungan yang maksimal, sehingga umumnya segala cara yang dapat memaksimalkan keuntungan akan dilakukan oleh pelaku bisnis tersebut. Hal inilah yang nantinya akan bertentangan (crash) dengan nilai-nilai etika bisnis yang berlaku di masyarakat. Etika umumnya dipersepsikan sebagai penghalang pelaku bisnis dalam mencapai keuntungan maksimal karena terikat dengan aturan-aturan yang bersifat normatif (Cai et. al., 2020). 


Dalam hal ini, etika mengandung aturan-aturan moral yang justru mengharapkan situasi yang sebaliknya, yaitu etika mengharapkan pelaku bisnis untuk selalu berbuat atas dasar kebaikan dan kebenaran dengan berlaku adil, jujur, dan selalu menempatkan sesuatu yang benar untuk dilakukan dan sesuatu yang salah untuk dihindari atau dijauhi (Djasuli, 2017).


Baca Juga : Warga Desa Sumberagung Minta Program Pemberdayaan PT BSI Terus Berlanjut


Persepsi atas bisnis yang berkebalikan dengan etika di atas sebetulnya bukanlah tanpa alasan karena memang praktik bisnis yang berkembang akhir-akhir ini menganggap bahwa dengan berperilaku etis dalam bisnis membuat pelaku bisnis tidak akan mendapatkan keuntungan yang maksimal. 


Bisnis diposisikan sebagai suatu aktivitas dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan, sedangkan bisnis yang dijalankan dengan etika dipersepsikan akan membelokkan tujuan bisnis tersebut dari aktivitas untuk mencari keuntungan menjadi aktivitas yang hanya mencari aspek “sosial”. Aspek sosial di sini berarti etika bisnis menganggap bahwa aktivitas bisnis tidak semata-mata ditujukan untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri, tetapi juga harus memberikan kontribusi yang lebih luas bagi masyarakat sekitar, sehingga dapat mengurangi nilai kebermanfaatan atas keuntungan yang akan diperolehnya (Thanetsunthorn & Wuthisatian, 2018). Konsep inilah yang dalam praktiknya ditolak oleh pelaku bisnis.


Paradigma di atas secara sepintas memang rasional, tetapi jika diamati lebih jauh tentang substansi nilai etika bagi pengembangan bisnis, maka justru akan menjadi kondisi yang sebaliknya, yaitu nilai etika justru akan menyuburkan perolehan keuntungan dalam aktivitas bisnis. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Saat ini, banyak sekali praktik-praktik bisnis yang juga menonjolkan aspek etisnya di samping juga mengejar keuntungan. Aspek etis tersebut salah satunya adalah nilai kejujuran (Tanner et. al., 2022). Kejujuran adalah kesediaan pelaku bisnis untuk mengatakan segala sesuatu seperti apa adanya. Dengan bertindak dan berlaku jujur dalam praktik bisnis, pelaku bisnis dapat memperoleh kepercayaan dari lingkungan bisnisnya, baik dari pihak internal maupun eksternal. Kepercayaan itulah akhirnya suatu entitas bisnis dapat terus melanjutkan usahanya dan memperoleh keuntungan (profit) yang berkelanjutan.


Istilah manajemen laba bukanlah sesuatu hal yang baru bagi para pelaku bisnis maupun para akademisi akuntansi. Sampai saat ini, manajemen laba masih menjadi suatu fenomena yang banyak menarik perhatian dan menjadi bahan perdebatan yang tidak ada habisnya. Belum ada definisi pasti mengenai manajemen laba. Tiap orang memiliki interpretasi yang berbeda-beda dalam memaknai manajemen laba. Meskipun menggunakan penilaian yang berbeda, namun pada dasarnya mereka menyepakati bahwa manajemen laba merupakan aktivitas manajerial dalam usaha mempengaruhi laporan keuangan (Hribar et. al., 2014).


Praktik manajemen laba disinyalir sebagai akibat dari fleksibilitas dalam standar akuntansi keuangan. Pada dasarnya, prinsip-prinsip akuntansi dibuat dan dipersiapkan dengan baik, tidak kaku, dan tidak membingungkan. Prinsip-prinsip akuntansi menyediakan fleksibitas yang memberikan peluang untuk munculnya akuntansi kreatif yang dapat bervariasi derajat kreatifitasnya, mulai dari menempatkan sesuatu yang terbaik pada tempatnya sampai dengan salah saji (Pijper, 2016). Seorang manajer mungkin sebatas akan menggunakan fleksibilitas tersebut untuk keperluan kecil, tetapi tidak jarang ada yang menyalahgunakan sehingga memberi efek yang sangat besar.


Kajian terhadap manajemen laba yang ditinjau dari perspektif etika pernah dilakukan (Giner & Pardo, 2015). Hasil penelitian tersebut menunjukkan persepsi manajer yang menganggap manajemen laba dalam batas tertentu sebagai tindakan wajar dan etis serta masih dalam batas prerogatif manajer dalam melakukan tanggung jawabnya dalam rangka mendapatkan return perusahaan. Praktik ini bisa diterima karena sampai pada batas tertentu tidak melanggar prinsip akuntansi berterima umum.


Ada fenomena menarik terkait praktik manajemen laba. Dari sekian banyak pendapat yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan tindakan kecurangan dan merugikan banyak pihak, tapi nyatanya banyak investor yang tidak peduli. Mereka justru cenderung menyukai adanya praktik manajemen laba, terlebih yang membuat laba perusahaan terlihat stabil. Mereka merasa diuntungkan dengan kondisi tersebut. Hal ini dikarenakan perusahaan dengan serial laba yang rata dianggap memiliki risiko yang rendah dan memberikan jaminan laba di masa depan yang lebih pasti. Namun yang perlu diketahui, ternyata investor yang cenderung abai dengan adanya praktik manajemen laba adalah investor yang hanya terlibat dalam hal jual beli saham atau surat-surat berharga, bukan investor yang berniat melakukan investasi (Chan et. al., 2010). Jika investor tersebut bertujuan melakukan investasi, tentu dia akan lebih cermat dalam melihat tingkat kesehatan finansial sebuah perusahaan.


Praktik manajemen laba seringkali dianggap sama dengan perataan laba atau perataan penghasilan (income smoothing). Perataan laba dapat didefinisikan sebagai upaya yang sengaja dilakukan untuk menormalkan penghasilan untuk mencapai level atau tingkat penghasilan sasaran (Al-Natsheh & Al-Okdeh, 2020; Ogbodo, 2017; Wang & Williams, 2011). Meskipun tidak melanggar aturan, namun perataan laba dapat menyebabkan turunnya reliabilitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Kustono (2021) menjelaskan bahwa praktik perataan penghasilan dapat dipandang dari dua perspektif yakni sebagai tindakan yang salah (negatif) dan tindakan yang seharusnya dilakukan manajemen (positif). Perataan penghasilan dianggap negatif karena dianggap sebagai tindakan amoral, penipuan, dan penyesataan oleh manajemen perusahaan. Sebaliknya, Zheng et. al., (2020) menyatakan bahwa perataan penghasilan justru sebuah tindakan yang seharusnya dilakukan manajer. Adanya pro dan kontra dalam praktik perataan laba tersebut menimbulkan pertanyaan apakah perataan laba merupakan tindakan yang etis atau tidak.

Selain income smoothing¸ pola lain yang juga menjadi pilihan dalam praktik manajemen laba adalah taking a bath, income minimization, dan income maximization. Semua pola tersebut pada dasarnya memiliki konsep yang sama, yaitu adanya intervensi manajer dalam proses penyusunan laporan keuangan, sehingga angka laba yang muncul sesuai dengan keinginan manajer atau perusahaan. Pertanyaan yang sama juga diajukan pada ketiga pola tersebut, yaitu apakah taking a bath, income minimization, dan, income maximization merupakan tindakan yang etis dilakukan (Alhadab et. al., 2015).


Belum ada batasan yang jelas antara manajemen laba yang dilakukan untuk kepentingan pribadi manajer dengan manajemen laba yang dilakukan untuk efisiensi perusahaan. Seorang manajer dalam melakukan manajemen laba pasti didorong oleh motivasi tertentu. Motivasi seseorang melakukan suatu tindakan pada dasarnya ada enam, yaitu, kebutuhan, harapan, kepuasan, kebanggaan, imbalan, dan pengabdian (Kustono, 2020). Ketika seorang manajer memutuskan melakukan manajemen laba, maka tidak ada yang tahu motivasi yang ada di balik tindakan tersebut, apakah benar-benar murni untuk kebaikan perusahaan atau justru untuk kebaikan pribadinya.


Ketika manajemen laba hanya sebatas pemilihan metode dan teknik yang dianggap paling sesuai dan itu dilakukan secara kontinyu, tidak berubah, kecuali dalam keadaan yang membahayakan kelangsungan hidup perusahaan, maka manajemen laba adalah tindakan yang etis. Sebaliknya, ketika manajer memanfaatkan kewenangannya dalam proses penyusunan laporan keuangan, seperti menggeser periode pengakuan pendapatan dan biaya, maka manajemen laba adalah tindakan yang tidak etis. Hal ini dikarenakan, ketika seorang manajer menggeser periode pengakuan pendapatan dan biaya, nampak ada sebuah upaya pemaksaan dalam memunculkan angka laba yang dilaporkan. Konsekuensi dari tindakan tersebut tidak hanya berpengaruh bagi pemilik perusahaan tetapi juga berpengaruh bagi para shareholders dan stakeholders.

Manajemen Laba dalam Perspektif Islam

Etika Islam dalam akuntansi menginginkan bahwa laporan keuangan yang disusun dilaporkan secara benar. Data yang dilaporkan harus sesuai dengan transaksi yang sebenarnya (Khatib et. al., 2022). Jika dikaitkan dengan manajemen laba yang bermain dengan metode dan teknik dalam proses penyusunan laporan keuangan, pertanyaan yang muncul adalah apakah konsep wajar dalam akuntansi konvensional bisa dikatakan memiliki makna yang sama dengan konsep benar secara etika Islam dalam akuntansi.


Literatur yang ada mengungkapkan bahwa agama memainkan peran penting dalam berbagai hal, termasuk promosi perilaku etis yang baik di antara organisasi bisnis. Wan Ismail et. al., (2015) meneliti praktik 508 perusahaan Malaysia sebelum krisis keuangan tahun 2008 dan menemukan bahwa perusahaan yang sesuai syariah memiliki kualitas laba yang tinggi karena perusahaan melakukan pengawasan yang lebih ketat dari regulator mereka. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan ini memiliki kewajiban untuk menjaga reputasi mereka yang mempromosikan dan mengamalkan nilai-nilai etika Islam.


Terlepas dari itu, terdapat pula studi yang mencatat bahwa nilai-nilai etika Islam tidak mencegah manajemen terlibat dalam perilaku tidak etis, khususnya perilaku manajemen laba. Hamdi & Zarai (2012) memberikan bukti yang menunjukkan bahwa bank syariah di seluruh dunia telah mengelola laba mereka untuk menghindari pelaporan kerugian atau penurunan pendapatan karena pelaporan negatif dapat merusak reputasi bank. Perusahaan syariah tidak menghalangi manajemennya untuk melakukan manajemen laba. Perusahaan yang mematuhi syariah maupun yang tidak mematuhi syariah sama-sama terlibat dalam perilaku manajemen laba. Banyak kemungkinan yang dapat dikutip untuk fenomena tersebut dan satu kemungkinan adalah kurangnya regulasi, penegakan, dan pengawasan.


Manipulasi di sektor perbankan lebih berisiko daripada di sektor lain. Hal ini karena sektor perbankan memiliki fungsi kritis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, stabilitas, dan kesejahteraan masyarakat. Literatur terkait manipulasi laba di sektor perbankan syariah sangat terbatas dan memberikan hasil yang beragam. Ada dua argumen berbeda mengenai jenis bank dan manajemen laba. Argumen pertama, menganggap bank syariah seperti halnya bank konvensional yang melakukan manajemen laba. Berdasarkan argumen ini, tujuan utama bank, terlepas dari bank Islam atau bank konvensional, adalah untuk menarik simpanan dan menggunakan simpanan tersebut untuk berinvestasi dan menghasilkan keuntungan. Bank syariah memiliki motivasi untuk memanipulasi laba untuk mencegah pelaporan kerugian dan pengurangan laba untuk menjaga kepercayaan pada bank syariah. Selain itu, bank syariah mirip dengan bank konvensional, yang dapat mempraktikkan manajemen laba untuk mencegah pelanggaran persyaratan perbankan seperti mencapai rasio likuiditas tertentu dan rasio kecukupan modal. Sementara, argumen kedua mempertimbangkan bahwa bank syariah memberikan praktik manajemen laba yang berbeda dibandingkan dengan bank konvensional karena perbankan syariah didirikan berdasarkan pasal pendirian yang menyatakan bahwa operasi bisnis dan transaksi bank syariah harus sesuai dengan syariat Islam.


Islam memaksa untuk mempraktikkan etika dalam bertransaksi dan juga dalam berbagai aspek kehidupan. Akhlaq disebut sebagai ciri-ciri manusia yang dia amalkan. Akhlaq terkait dengan etika Islam dan terdiri dari empat unsur, yaitu: 1) pemahaman tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk berdasarkan logika manusia, serta tingkat persepsi; 2) hubungan dengan manusia dan antara manusia dan Allah SWT; 3) mencari karunia Allah SWT; dan 4) mempraktikkan pemikiran dan ilmu spiritual yang dipelajarinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa manajemen laba secara etis adalah kejahatan karena praktik penipuan seperti manajemen laba dianggap tidak etis dan melanggar keyakinan dasar. Hal itu juga didukung dengan alasan bahwa manipulasi yang dilakukan adalah untuk keuntungan pribadi yang menyebabkan kerugian finansial bagi pemilik sebenarnya dan pemangku kepentingan lainnya.


Islam menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam setiap perilaku, bahkan juga di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, sedangkan praktik manajemen laba mengindikasikan adanya ketidakjujuran manajer di dalam proses penyusunan laporan keuangan. Hal ini dikarenakan adanya asimetri informasi antara manajer dengan pemilik maupun stakeholders (Haurissa & Dewi, 2021). Dalam proses penyusunan laporan keuangan, manajer cenderung sering menggunakan kewenangannya dalam melakukan intervensi terhadap laba yang dilaporkan.


Dalam konteks manajemen laba, kehadiran nila-nilai Islam dapat menawarkan jaminan tambahan kepada pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya bahwa manajer perusahaan dengan nilai-nilai syariah mempunyai kemungkinan yang lebih kecil untuk terlibat dalam manajemen laba dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya. Prinsip syariah yang berkaitan dengan akuntabilitas, kejujuran, integritas, tanggung jawab, transparansi, dan kejujuran secara langsung melarang manajer membatasi dalam aktivitas penipuan.


Praktik manajemen laba yang sudah menjadi perilaku umum memang diyakini sebagai akibat dari fleksibilitas perlakuan akuntansi yang ditetapkan oleh standar akuntansi keuangan. Sebagaimana diketahui bahwa standar akuntansi keuangan yang ada di Indonesia merupakan adopsi dari negara Amerika. Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam tentunya memiliki perbedaan nilai dan etika dengan negara Amerika yang hampir semua penduduknya adalah non muslim.


Bagi standar akuntansi, manajemen laba adalah tindakan yang etis, tetapi tidak bagi etika Islam, namun Islam tidak serta merta menganggap bahwa manajemen laba adalah perbuatan yang haram dan tidak diperbolehkan karena ada ketentuan pengecualian dalam hukum Islam. Artinya, dalam kondisi belum ditemukannya metode penyusunan laporan keuangan yang lebih baik, maka manajemen laba dalam pengertian putih adalah tindakan yang diperbolehkan. Kondisi yang demikian dalam Islam disebut sebagai kondisi darurat (Rahmayati, 2021). Dengan catatan, terus berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan agar tidak selalu berada di dalam kondisi darurat. Karena Islam tidak membenarkan praktik manajemen laba.


Manajemen laba dalam tataran yang masih dibenarkan oleh Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) adalah tindakan yang etis (McGuire et. al., 2012). Penilaian etis disini adalah ketika manajer dalam melakukan intervensi terhadap laba yang dilaporkan dan tidak dengan sengaja berniat melakukannya untuk keuntungan pribadi. Akan tetapi, manajer melakukan praktik manajemen laba dalam koridor untuk kepentingan perusahaan dan tidak merugikan pihak lain. Artinya, manajer melakukan praktik manajemen laba untuk efisiensi perusahaan dan hanya bermain dengan metode dan timing.


Dalam Islam, semua transaksi harus didasarkan pada kebenaran yang menciptakan rasa kepercayaan di antara para pihak. Islam melarang kebohongan dalam setiap aspek kehidupan dan khususnya dalam transaksi karena manajemen laba didasarkan pada pemalsuan kebenaran. Manajemen laba adalah manipulasi pelaporan keuangan. Semua informasi keuangan yang terkait dengan pendapatan diubah untuk mendapatkan kepercayaan dan investasi. Sebagaimana dijelaskan di atas, perilaku manajemen laba adalah legal jika dilakukan dalam standar akuntansi, namun ketika praktik seperti itu mengarah pada kesalahan, maka manajemen laba dianggap sebagai penipuan.


Ditulis: Anindya Dianing Pratiwi, Mahasiswa S2 Akuntansi Universitas Jember.